KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera,
Human Resource
adalah salah satu bidang dalam perusahaan yang menangani tentang sumber daya
manusia. Yang dulunya hanya melakukan fungsi personalia berupa penggajian,
namun modern ini berubah menjadi menyeluruh dan memperhatikan seluruh aspek
tentang sumber daya manusia dalam perusahaan. Demikian juga tentang
keterlibatan karyawan dalam perusahaan. Seberapa besar dan seberapa sering
karyawan mengikut sertakan diri dalam perusahaan, akan mengukur apakah karyawan
tersebut termotivasi dengan pekerjaan yang dia lakukan atau tidak.
Dalam mata
kuliah Managing Discipline And Respecting Employee Rights yang saya tempuh di
semester 7 ini, saya ditugaskan untuk membahas dan menjabarkan lebih dalam lagi
tentang topic ini, yakni meningkatkan keterlibatan karyawan dalam perusahaan. Saya
menyusun makalah ini berdasar dari materi yang diberikan di kelas oleh dosen
mata kuliah, bapak Fransiskus Paulus Paskalis Abi, MM, dan menggunakan beberapa
literature yang ada, baik dari buku cetak maupun dari internet.
Makalah ini saya
buat, sebagai suatu syarat untuk membentuk nilai tugas mandiri yang memiliki
bobot 20%. Kurang lebihnya saya memohon maaf, semoga apa yang saya tulis, dapat
membantu semua pembaca, teristimewa dapat dinilai dengan baik oleh dosen mata
kuliah.
Jakarta, 03 November 2015
Salam
Damai
Bryan Christian
Penulis
Daftar
Isi
KATA PENGANTAR
Daftar Isi
v BAB
1 : Pendahuluan
v BAB
2 : Pengertian Keterlibatan Karyawan
A. PENGERTIAN
Keterlibatan Kerja
B. Teori
Keterlibatan Kerja
C. Karakteristik
Keterlibatan Kerja
D. Dimensi
Keterlibatan Kerja
v BAB
3 : Faktor Faktor Yang Memepengaruhi Keterlibatan Karyawan
A. Variabel
Personal
B. Variabel
Situasional
v BAB
4 : Faktor Faktor Yang Menghambat Keterlibatan Karyawan Dan Upaya
Penanggulangannya
A. Faktor
Penghambat Keterlibatan Karyawan
B. Upaya
Penanggulangan
v BAB
5 : Pengimplementasian Keterlibatan Karyawan Dalam
v BAB
6 : Kesimpulan
BAB 1
PENDAHULUAN
Seperti
yang kita ketahui, transformasi peranan karyawan dalam perusahaan kini telah
mengubah fungsi Human Resource Manajemen secara keseluruhan. Karyawan yang
dulunya hanya dipandang sebelah mata, kini menjelmna menjadi factor kunci
penentu keberhasilan senuah perusahaan.
Kinerja
seringkali juga di samakan dengan prestasi kerja, Mangkunegara (2000)
Menyatakan pentingknya kinerja dalam suatu perusahaan, karena kinerja adalah
hasil kerja baik secara kuantitas dan kualitas yang mampu dicapai oleh seorang
karyawan. Sedangkan Gibson dan Ivancevich (1997) menyatakan bahwa kinerja
adalah sesuatu yang merujuk pada keberhasailan seseorang dalam melaksanakan
tugasnya atau mencapai target yang ditetapkan.
Sejauh
mana kesuksesan karyawan dalam mencapai tujuan tersebut pada tugas-tugas yang
dilakukannya disebut dengan kinerja kerja (Suhartini, 1992, dalam Nugroho,
2006). Ukuran kesuksesan yang dicapai oleh karyawan tersebut tidak bisa
digeneralisasikan dengan karyawan yang lain karena harus disesuaikan dengan
ukuran yang berlaku dan jenis pekerjaan yang dilakukannya (Steele-Johnson et
al., 2000, dalam Nugroho, 2006). Menurut Bernardin dan Russel (1998) dalam
Nugroho (2006), job performance adalah catatan mengenai akibat-akibat yang
dihasilkan pada sebuah fungsi kerja atau kegiatan tertentu dalam suatu jangka
waktu tertentu.
Job
performance seorang individu merupakan gabungan dari kemampuan, usaha dan
kesempatan yang dapat diukur dari akibat yang dihasilkan, oleh karena itu job
performance bukan menyangkut karakteristik pribadi yang ditunjukkan oleh
seseorang melainkan hasil kerja yang telah dan akan dilakukan oleh seseorang.
Seymour (1991) dalam Yekti (2006) mendefinisikan job performance sebagai
pelaksanaan tugas yang diukur. Sedangkan Byars dan Rue (1988), dalam Yekti
(2006) mendefinisikan job performance merupakan derajat penyelesaian tugas yang
menyertai pekerjaan seseorang. Job performance merefleksikan seberapa baik
individu memenuhi permintaan pekerjaan. Job performance (kinerja) diartikan
sebagai tingkatan dari pekerjaan actual yang dilaksanakan oleh para individual
(Shore et al., 1990, dalam Yekti, 2006). Dengan demikian, kinerja dapat
diartikan sebagai catatan keberhasilan dari suatu pekerjaan / tugas yang telah
dicapai seseorang melalui pengevaluasian / menilai kerja karyawan yang
dilakukan organisasi dalam kurun waktu tertentu.
Karyawan
yang memiliki kinerja yang baik, dapat meningkatkan produktifitas karyawan,
karena kinerja dan produktifitas berbanding lurus satu sama lain. Karenanya,
perusahaan masa kini berlomba lomba meningkatkan kinerja karyawannya.
Salah
satu yang diperhatikan dalam hal meningkatan kinerja dari karyawan adalah
bagaimana karyawan tersebut mau member diri untuk terlibat dalam setipa
kegiatan yang ada dalam perusahaan. Keterlibatan karyawan atau biasa juga
disebut Job involvement disimpulkan oleh Saleh dan Hosek (1976) dalam Yekti
(2006) sebagai tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan
pekerjaan, berpartisipasi aktif dalam bekerja dan menganggap performansi
kerjanya penting bagi harga dirinya.
Seseorang
yang terlibat dengan pekerjaan akan menganggap pekerjaan memiliki peran penting
dalam hidupnya, merasakan bahwa kebutuhan kemandirian dan kontrol terhadap
pekerjaan terpenuhi serta merasa harga dirinya meningkat seiring dengan
peningkatan kinerja (Kanungo, 1979, dalam Yekti, 2006). Pentingnya peran
pekerjaan bagi kehidupan karyawan berhubungan dengan keyakinannya bahwa
pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan intrinsik maupun ekstrinsik, misalnya
kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan akan gaji yang besar. Apabila
karyawan yakin bahwa pekerjaan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
maka akan ada usaha untuk memenuhinya dengan mengerahkan segenap tenaga dalam
bekerja.
Brown,
1996, dalam Yekti, 2006, menyatakan bahwa karyawan yang terlibat dengan
pekerjaan akan mengerahkan usaha yang lebih besar dalam bekerja. Brown dan
Leigh, 1996, dalam Yekti, 2006, berdasarkan penelitiannya menemukan bahwa job
involvement akan mengarahkan pada kinerja yang baik apabila diantarai oleh
usaha effort). Job involvement merupakan bagian dari sikap kerja (Allport, 1993
dalam Yekti, 2006), di mana job involvement akan meningkatkan produktivitas.
Menurut Brown, 1993, dalam Yekti, 2006,
keterlibatan kerja mempunyai konsekuensi beberapa hasil kerja. Oleh karena itu,
denga semakin terlibat dalam pekerjaannya karyawan diharapkan dapat
menghasilkan kinerja yang lebih baik. Secara umum, ada kepercayaan bahwa job
involvement secara positif mempengaruhi motivasi dan usaha pegawai, sehingga
mengarah ke level kinerja kerja yang lebih tinggi (Brown, 1996, dalam Chungtai,
2008).
Penelitian
sebelumnya mengindikasikan beberapa dukungan untuk pernyataan ini. Misalnya,
Brown dan Leigh (1996) dalam Chughtai (2008) dalam studi mereka menemukan bahwa
job involvement mempunyai efek langsung dan tidak langsung dari usaha pada kinerja.
Dengan
kata lain, jika karyawan memiliki keterlibatan yang baik, maka kinerja pasti
akan berbanding lurus, atau ikut membaik. Karenanya, selaras dengan apa yang
diajarkan kepada kami dalam kegiatan perkuliahan pada mata kuliah Employe
Rights, keterlibatan karyawan dibahas sebagai salah satu komponen penting yang
harus dikuasai oleh seorang manajer HRD karena didalamnya terdapat hak hak dari
karyawan yang harus diperhatikan.
Setiap
orang dalam perusahaan pasti berbeda, perbedaan inilah yang membuat cara untuk
menarik keterlibatan dari karyawan ini menjadi kompleks. Ada karyawan yang baru
bisa bekerja dengan baik jika diperintah dengan tegas, ada juga yang baru bisa
menjalankan tugasnya dengan baik jiuka diberi kebebasan. Dengan kata lain, gaya
kepemimpinan juga berpengaruh penting dalam usaha perusahaan meningkatkan
partsisipasi karyawan dalam menjalankan tugasnya.
Karenanya
dalam makalah ini, saya akan menjabarkan tema ini lebih jelas, tentang apa yang
menjadi pengertian partisipasi karyawan dalam perusahaan, dan apa saja yang
mempengaruhinya.
BAB 2
PENGERTIAN KETERLIBATAN
KARYAWAN
A.
Pengertian Keterlibatan
Kerja
Sumber daya manusia sangat penting peranannya dalam suatu perusahaan maka kita perlu tahu keterlibatan kerja karyawannya atau job involvement. Belum ada kesepakatan yang lengkap mengenai apa yang diartikan dengan istilah keterlibatan kerja ini.
Keterlibatan kerja mempunyai definisi yaitu derajat dimana orang dikenal dari pekerjaannya, berpartisipasi aktif didalamnya, dan menganggap prestasinya penting untuk harga diri (Robbins, 2003:91).
Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu, misalnya karyawan menyumbangkan ide untuk kemajuan pekerjaan, dengan senang hati memenuhi peraturan - peraturan perusahaan dan mendukung kebijakan perusahaan, dan lain - lain. Sebaliknya karyawan yang kurang senang terlibat dengan pekerjaannya adalah karyawan yang kurang memihak kepada perusahaan dan karyawan yang demikian cenderung hanya bekerja secara rutinitas.
B. Teori
Keterlibatan Kerja
Dalam suatu perusahaan ataupun suatu organisasi keterlibatan kerja karyawan sangat berperan besar. Ada beberapa teori dari berbagai sumber yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterlibatan kerja The degree to which a person a identifies psychologically with his or here work and the importance of work to one’s self image (Brown, 1996). Yaitu dimana seorang karyawan dikatakan terlibat dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi Beberapa studi yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana keterlibatan kerja dapat timbul pada para pekerja, yang akhirnya menghasilkan dua sudut pandang yang dianggap menyebabkan timbulnya keterlibatan kerja yang pertama adalah ( The first : job involvement is occur when the possession of certain needs, value, or personal characteristics individuals to become more or less involved in their jobs) keterlibatan kerja akan terbentuk karena keinginan dari pekerja akan kebutuhan tertentu, nilai atau karakteristik tertentu yang diperoleh dari pekerjaannya sehingga akan membuat pekerja tersebut lebih terlibat atau malah tidak terlibat pada pekerjaannya.
Yang
kedua adalah ( The second: job involvement as a response to specific works
situation characteristics. In other words certain types of job or
characteristics of the work situation influence the degree to which an
individual becomed involved in his jobs ) keterlibatan kerja itu timbul sebagai
respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu dalam lingkungan
kerja. Dengan lain kata suatu jenis pekerjaan atau situasi dalam lingkungan
kerja akan mempengaruhi orang tersebut makin terlibat atau tidak dalam
pekerjaannya.
Karyawan dalam keterlibatan yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu (Robbins, 2003:91). Teori yang mendasari adalah bahwa dengan mengetahui keterlibatan kerja karyawannya dengan demikian maka para karyawan akan menjadi lebihtermotivasi, lebih berkomitmen terhadap organisasi ataupun perusahaan, lebih produktif, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka.
Lodahl
dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job
Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau
pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang.
Keterlibatan
kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang
mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara
psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya
pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan
yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap
pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya.
Brown (dalam
Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk
pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya
dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang
yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya
dan tenggelam dalam pekerjaannya.
Robbins
menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi
sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka
lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam
pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi
berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi kerja.
Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan
jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009: 306).
Hiriyappa (2009)
mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai
sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara
aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya
penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan
menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu
organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan
ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu
organisasi.
Patchen (dalam
Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja
(Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi
terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu
akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja
yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang
memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang
pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa
kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas
dengan pekerjaannya.
Berdasarkan dari
definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job
Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang
ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan
dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan
Organizational Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya
perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka
karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan
mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.
C.
Karakteristik Job
Involvement
Ada beberapa
karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement)
yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:
1. Karakteristik
karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi:
v Menghabiskan
waktu untuk bekerja
v Memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
v Puas
dengan pekerjaannya
v Memiliki
komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
v Memberikan
usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
v Tingkat
absen dan intensi turnover rendah
v Memiliki
motivasi yang tinggi
2. Karakteristik
karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah:
v Tidak
mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
v Tidak
peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
v Tidak
puas dengan pekerjaan
v Tidak
memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
v Tingkat
absen dan intensi turnover tinggi
v Memiliki
motivasi kerja yang rendah
v Tingkat
pengunduran diri yang tinggi
v Merasa
kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
D. Dimensi
Job Involvement
Menurut Lodahl
dan Kejner (dalam Cohen, 2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu:
1. Performance
self-esteem contingency
Keterlibatan
kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh
performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja
seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem).
Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu
mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002).
2. Pentingnya
pekerjaan bagi gambaran diri total individu
Dimensi ini
merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara
psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri
totalnya. (Dubin (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki
keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan
sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya.
Ini berarti
bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa
pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang
memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli
dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009:303).
BAB 3
FAKTOR FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KETERLIBATAN KARYAWAN
Keterlibatan
kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel
personal dan variabel situasional.
A.
Variabel
personal
Variabel
personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi
dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin,
status pernikahan, jabatan, dan senioritas.
Moynihan dan
Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua
cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan
yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka.
Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh
variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time) menemukan
bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan
kerja.
Hasil penelitian
ini mengindikasikan bahwa karyawan full-time dan part-time berbeda dalam
karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi
daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja
yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. ia juga menemukan bahwa karyawan
yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan
karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya
menambahkan bahwa variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki
hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement).
Sedangkan
variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai
kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha
kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.
Bazionelos
(2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan
keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait
kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe
kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan
keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik
aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain
itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan
openness dengan keterlibatan kerja.
B.
Variabel
situasional
Variabel situasional yang dapat mempengaruhi
keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial
budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi,
otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam
organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security,
supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan
bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas,
kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya
meningkatkan produktivitas.
Irawan (2010)
dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan
keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan
antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila
persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka
keterlibatan kerja karyawan tinggi.
Variabel
organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran
organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol
organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa
praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara
signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja,
kepuasan karier, dan komitmen organisasi.
Hao, Jung, dan
Yenhui (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penting dari
keterlibatan kerja (Job Involvement) personil layanan finansial menemukan bahwa
dukungan sosial dan hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang
signifikan dengan keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam
penelitiannya mengenai hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan
keterlibatan kerja pada sipir penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan
sosial yang diukur (appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan
positif dengan keterlibatan kerja. Variabel lingkungan sosial budaya mencakup
ukuran komunitas, rural/urban, budaya etnis, dan agama.
Kaur dan Chadha
(dalam Srivastava, 2005) menemukan bahwa bagi pekerja white-collar, stres yang
tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang rendah, sedangkan bagi pekerja
blue-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang tinggi.
Ada beberapa
penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja (Job
Involvement). Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja
menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa
karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan
tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005)
juga menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi
cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap
karier, profesi, dan organisasi mereka.
Komitmen
karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Dari hasil studi
yang dilakukan oleh Angle dan Perry (1981) menunjukkan bahwa prediktor terhadap
komitmen adalah masa kerja seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Makin
lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk
menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan
untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat
promosi yang lebih tinggi.
2. Adanya
peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk
organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi
tersebut.
3. Adanya
keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individuindividu yang ada,
hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat
meninggalkan organisasi.
4. Akses
untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.
Menurut Mowday,
Porter dan Steers, (1982) beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki
hubungan dengan komitmen, diantaranya adalah :
1. Usia
dan masa kerja . Usia dan masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen.
Gilmer, Attiselli dan Brown (dalam Prabowo, 1997) dalam penelitiannya juga
menambahkan bahwa usia akan berpengaruh pada komitmen organisasi dimana
komitmen bertambah seiring bertambahnya usia.
2. Tingkat
Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu
yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya
semakin rendah.
3. Jenis
Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam
pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
4. Peran
individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman menunjukkan
bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen
terhadap organisasi. Peran yang tidak jelas muncul akibat adanya tujuan yang
tidak jelas pula atas suatu pekerjaan.
Ciri-cirinya
antara lain ketidakjelasan evaluasi terhadap pekerjaan, cara untuk mencapai
unjuk kerja yang baik dan batas wewenang serta tanggung jawab individu. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan munculnya ketidakjelasan peran, yakni :
1. faktor
organisasi, keberadaan individu tidak jelas fungsinya sehingga peranannyapun
tidak jelas ;
2. faktor
pemberi peran – ketidakjelasan muncul karena atasan tidak mengkomunikasikan
dengan jelas harapannya terhadap bawahan ;
3. faktor
penerima peran – ketidakjelasan peran karena bawahan tidak mengerti peran yang
harus ia lakukan sesuai harapan atasan (dalam Temaluru, 2001).
Faktor
Lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi.
Menurut Porter, Mowday dan Steers (1982), lingkungan dan pengalaman kerja
dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen
terhadap organisasi. Beberapa faktor lingkungan yang berkaitan dengan komitmen
adalah :
1. keterandalan
organisasi, yakni sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia
bekerja memperhatikan anggotannya, baik dalam hal minat maupun kesejahteraan;
2. perasaan
dianggap penting oleh organisasi- yakni sejauh mana individu merasa diperlukan
dalam mencapai misi organisasi. Menurut Robert Lavering (1988), tempat kerja
yang baik adalah tempat yang membuat karyawan dihargai keberadaannya dan merasa
bangga menjadi anggota organisasi tersebut. Ketidakberartian akan membuat
komitmen organisasi menjadi rendah;
3. realisasi
terhadap harapan individu- yakni sejauh mana harapan individu dapat
direalisasikan melalui organisasi dimana ia bekerja.
4. persepsi
tentang sikap terhadap rekan kerja-sejauh mana individu merasa bahwa rekan
kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang positif terhadap organisasi.
5. persepsi
terhadap gaji sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya
seimbang dengan gaji individu lain. Perasaan diperlakukan fair atau tidak akan
mempengaruhi komitmennya.
6. persepsi
terhadap perilaku atasan-sejauh mana individu merasa dihargai dan dipercayai
oleh atasan. Jika persepsi sikap atasan negatif, maka akan cenderung
mengakibatkan sikap negatif pula yang diaktualkan dalam bentuk perilaku negatif
seperti mangkir dan keinginan berpindah kerja (dalam Temaluru, 2001).
BAB 4
FAKTOR FAKTOR YANG
MENGHAMBAT KETERLIBATAN KARYAWAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
A.
Faktor penghambat dalam
melibatkan karyawan
Ada beberapa
faktor yang menghambat keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam suatu
organisasi. Diantaranya adalah Menurut fandy tjiptono(2003:131), ada
2 penolakan terhadap perubahan yang perlu diperhatikan yaitu penolakan dari
manajemen dan dari karyawan.
Penolakan
manajemen terhadap penerapan PPK (Pelibatan dan pemberdayaan karyawan) antara
lain karena alasan ketidakamanan, nilai-nilai pribadi, ego, pelatihan
manajemen, karakteristik kepribadian, ketidakterlibatan para manajer, serta
struktur organisasi, dan praktik manajemen.
1. Ketidakamanan,
Hal
ini akan dirasakan oleh para manajer ketika karyawan yang berada dalam tim
kerja mencetuskan inisiatif atau ide yang dapat mengurangi kekuasaan manajer
tersebut. Sehingga manajer akan berusaha mempersulit kelompok kerja.
2. Nilai-nilai pribadi,
yaitu
anggapan manajer bahwa karyawan harus melaksanakan perintah yang diberikan oleh
manajer,
3. Ego,
manajer
yang memiliki ego tinggi tidak akan menerima adanya keterlibatan karyawan,
karena akan merasa berkurang status dan keuntungannya.
4. Pelatihan manajemen,
akan
mempengaruhi cara pandang manajer karena biasanya pelatihan manajemen mengikuti
filosofi yang dicetuskan oleh Frederick Taylor yang lebih focus kepada
penerapan prinsip-prinsip ilmiah dalam perbaikan proses dan teknologi, yang
tidak berorientasi pada manusia. Sehingga kemungkinan besar, para manajer
tersebut akan menolak PPK.
5. Karakteristik kepribadian para manajer,
Yang
dididik dengan cara lama tidak akan menerima PPK karena mereka lebih
memperhatikan tugas dan hasil kerja daripada memperhatikan orang yang bekerja
tersebut.
6. Ketidakterlibatan manajer akan menolak PPK,
karena
manajer tersebut merasa diabaikan. Penerapan PPK harus melibatkan semua
personil yang akan dipengaruhi oleh keputusan atau ide yang ditemukan
7. Struktur Organisasi dan praktek manajemen,
ketika
organisasi memiliki birokrasi yang berbelit-belit. Penolakan dari karyawan bisa
terjadi ketika mereka merasa skeptis terhadap manajemen yang silih berganti dan
tidak dilaksanakan. Penolakan bisa juga terjadi karena karyawan tidak mau
menerima perubahan karena menyangkut hal hal baru dan mungkin tidak lazim,
sehingga sulit mendapatkan dukungan dari karyawan.
Jadi ketika tim
dibentuk, akan berhasil bila sasaran atau tujuan kerja kelompok jelas dan
disetujui oleh seluruh anggota kelompok. Hal ini didukung dengan adanya
keterbukaan antar anggota kelompok dan antara anggota kelompok selalu ada
pertemuan untuk membahas berbagai masalah kelompok atau masalah – masalah perusahaan.Kerjasama
antar anggota kelompok sangat deperlukan, terutama dukungan dan rasa
saling percaya antara seluruh anggota kelompok.
B.
Usaha
Penanggulangan
Penerapan
PPK (Pelibatan dan pemberdayaan karyawan) dalam lembaga/organisasi
Pimpinan yang berhasil bukanlah yang mencari kekuasaan untuk dirinya sendiri akan tetapi yang mampu mendistribusikan kekuasaan kepada orang banyak untuk mencapai tujuan bersama dengan melalui kejelasan wewenang, tanggung jawab, serta diimbangi sikap disiplin.
Pimpinan yang berhasil bukanlah yang mencari kekuasaan untuk dirinya sendiri akan tetapi yang mampu mendistribusikan kekuasaan kepada orang banyak untuk mencapai tujuan bersama dengan melalui kejelasan wewenang, tanggung jawab, serta diimbangi sikap disiplin.
Pelibatan
dan pemberdayaan karyawan akan berarti hanya apabila hal tersebut merupakan
suatu usaha sistemik yang dilakukan untuk membantu organisasi guna meningkatkan
nilai yang akan diberikan kepada pelanggan(Fandy Tjiptono, 2003:135).
Peranan
utama manajemen sendiri adalah melakukan segala usaha yang diperlukan guna
menjamin kesuksesan konsep PPK tersebut secara berkesinambungan, sedangkan
peranan manajer antara lain:
1. Menunjukkan
sikap yang mendukung
2. Menjadi
fasilitator
3. Menjadi
pelatih
4. Mempraktekkan
Management By Walking Around
5. Mengambil
tindakan dengan segera atas atas rekomendasi
6. Menghargai
prestasi karyawan
Menurut
Raja Bambang Sutikno (2005:107), ada tiga pilar interaksi antara manager dengan
karyawan yang menjadi tulang punggung dalam komunikasi.
1. Menghormati
harga diri karyawan dan menjaga rasa percaya dirinya.
2. Mendengar
dan merespons dengan empati terhadap bahasa verbal dan bahasa nonverbal.
3. Membangun
sinergi dalam penyelesaian masalah.
BAB 5
PENGIMPLEMENTASIAN KETERLIBATAN
KARYAWAN
Terdapat berbagai sarana yang dapat
digunakan untuk mendorong karyawan agar mereka memberikan masukan dan
menyalurkannya kepada pengambil keputusan. Berikut adalah metode yang sering
digunakan:
A. Brainstorming
Disini manajer mempunyai peran sebagai katalisator untuk mendukung diskusi antar peserta. Peserta didorong untuk mengungkapkan seluruh idenya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk menghakimi ide dari peserta lain. Setelah saran dari peserta terkumpul, maka akan diolah dan dipilih beberapa saran terbaik.
Usaha pemberdayaan karyawan dimulai
dengan hal-hal berikut
1. Adanya
keinginan manajer dan supervisor untuk memberi tanggung jawab pada karyawan.
2. Melatih
supervisor dan karyawan mengenai cara untuk melakukan delegasi dan menerima
tanggung jawab.
3. Komunikasi
dan umpan balik perlu diberikan manajer dan supervisor kepada karyawan.
4. Penghargaan
dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi yang perlu diberikan.
B.
Nominal group technique
Nominal group technique merupakan salah
satu bentuk dari brainstorming, tehnik ini terdiri dari 5 langkah, yaitu:
1. Merumuskan
permasalahan
2. Mencatat
ide masing-masing
3. Mencatat
ide kelompok.
4. Memperjelas
ide-ide
5. Masing-masing
anggota kelompok memilih ide yang dianggapnya sesuai.
C.
Gugus kualitas
Perbedaan utama gugus kualitas dan
brainstorming adalah anggota gugus kualitas adalah sekelompok karyawan yang
secara sukarela melaksanakan pertemuan sendiri, sedangkan brainstorming pada
umumnya adalah bentukan manajer.
D.
Kotak saran
Cara ini dilakukan dengan cara
menyediakan kotak sebagai tempat karyawan menyampaikan saran tertulis.
E.
Management by walking
around
Jalan-jalan di tempat kerja dan
berbicara dengan karyawan untuk mengumpulkan masukan. Cara ini dinilai efektif
karena dapat dengan langsung melihat sendiri di lapangan sejauh apa karyawan
memahami apa yang mereka kerjakan sehingga manajer dapat mengetahui kendala
yang ada.
F.
Penghargaan dan
pengakuan prestasi
Dalam TQM, penghargaan dan pengakuan
prestasi merupakan motivasi untuk mencapai sasaran perusahaan. Penghargaan dan
pengakuan prestasi tidak akan menghasilkan yang disebut total quality secara
langsung, akan tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada, maka yang terjadi
adalah hilangnya keyakinan karyawan terhadapa niali riil kualitas dan
kontribusi mereka untuk memperbaiki kualitas.
Salah satu metode yang disebutkan diatas
adalah gugus kualitas, atau bisa disebut dengan gugus kendali mutu. Menurut Olga L.
Crocker, di Jepang gugus kendali untuk mempelajari dan menghilangkan
persoalan yang berkaitan dengan tujuan dan persoalan yang berkaitan dengan
produksi. Gugus
kendali mutu adalah tim pemecah persoalan yang menggunakan metode statistic
yang sederhana untuk mencari dan memutuskan pemecahan atas persoalan di pabrik.
Ada pengertian lain dari gugus kendali
mutu yaitu sekelompok karyawan yang terdiri dari empat sampai dengan duabelas
karyawan yang berasal dari tempat atau bidang yang sama dalam perusahaan secara
sukarela berkumpul untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dan menerapkannya
dalam kegiatan operasional perusahaan.
Kelompok kerja yang dikelola sendiri
oleh para karyawan dalam suatu tim yang biasanya didasari oleh kebutuhan pihak
karyawan untuk berkumpul dan membahas berbagai masalah, biasanya dibentuk
secara informal. Merupakan tim yang terbentuk untuk mengadakan perbaikan proses
secara terus menerus dan berkesinambungan.
Dengan kerjasama TIM diharapkan dapat
mempermudah dalam menjalankan dan mencapai visi, misi, tujuan dan program
program yan telah dibuat oleh organisasi.
Menurut King ( dalam Goetscs dan davis
1994: 218-219) menganjurkan 10 startegi yang ia sebut sepuluh perintah TIM (
Ten Team Commandment) untuk meningkatkan kerjasama TIM dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Sepuluh strategi tersebut adalah:
1. Saling ketergantungan,
Saling ketergantungan diperlukan
diantara para aggota tim dalam hal
informasi, sumber daya, pelaksanaan tugas, dan dukungan. Adannya ketergantungan dapat memperkuat kebersamaan TIM.
informasi, sumber daya, pelaksanaan tugas, dan dukungan. Adannya ketergantungan dapat memperkuat kebersamaan TIM.
2. Perluasan Tugas,
Setiap tim harus diberi tantangan atau
tanggapan terhadap tantangan tersebut akan membentuk semangat persatuan,
kebangaan dan kesatuan tim.
3. Penjajaran (alignmen)
Anggota tim harus bersedia menyingkirkan
sikap indivualisme dalam rangka mencapai misi bersama.
4. Bahasa yang umum
Pemimpntim harus menggunaka penggunaan
bahasa yang umum sehingga
bisa difahami oleh anggota tim yang lain.
bisa difahami oleh anggota tim yang lain.
5. Kepercayaaan
Dibutuhkan sikap saling percaya dan respek antar anggota TIM agar dapat bekerjasama.
Dibutuhkan sikap saling percaya dan respek antar anggota TIM agar dapat bekerjasama.
6. Kepemimpinan
Pemimpin tim harus memperhatikan bakat tertentu anggota tim sebab anggota tim memiliki bakat masing masing.
Pemimpin tim harus memperhatikan bakat tertentu anggota tim sebab anggota tim memiliki bakat masing masing.
7. Keterampilan memecahkan masalah
Tim harus banyak menggunakan waktunya
untuk membina kemampuan anggotannya dalam memecahkan masalah, karena masalah
merupakan hal yang selalu dihadapi oleh organisasi atau lembaga.
8. Keterampilan menangani konfrontasi atau konflik
Dalam lingkungan kerja yang memiliki
tekanan tinggi dan kompetetif konflik merupakan hal yang tidak terelakan.
Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar . Oleh karena itu, dalam TQM
diperlukan keterampilan menerima perbedaan pendapat dan menyampaikan
ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain tanpa harus menyakiti orang yang
bersangkutan.
9. Penilaian atau tindakan
Penilaian dilakukan dengan memantau dan membandingkan
apa yang telah dilakukan dengan pernyataan visi dan rencana tindakan yang ada.
Rencana tindakan berisi tujuan, sasaran, jangka waktu, penuagasan serta
tanggung jawab setiap anggota. Penghargaan dan pengakuan atas tugas yang
terlaksana dengan baik akan memativasi anggota tim untuk bekerja lebih giat dan
tangkas dalam rangka mencapai tujuan berikut.
BAB 6
KESIMPULAN
Keterlibatan
dan pemberdayaan karyawan merupakan salah satu unsur TQM. Jika karyawan
dilibatkan dalam berbagai kegiatan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
maka mutu atau kualitas lembaga dapat terjamin karena karyawan merupakan orang
yang melaksanakan tugas operasional yang lebih mengenal keadaan sebenarnya
dilapangan.
Salah satu
bentuk PPK adalah dengan membuat suatu tim kerja yang biasa disebut dengan
gugus kendali mutu. Tim ini terbentuk dari empat sampai dengan duabelas
karyawan yang berasal dari tempat atau bidang yang sama dalam perusahaan secara
sukarela berkumpul untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dan menerapkannya
dalam kegiatan operasional perusahaan.
Keterlibatan karyawan dalam perusahaan
adalah inti dari kinerja itu sendiri, karena mustahil jika perusahaan ingin
meningkatkan kinerja namun karyawannya tidak mau berpartisipasi. Dari apa yang
menjadi pembahasan yang saya jabarkan dia atas, dapat kita lihat, bahwa
transformasi dari dunia usaha khususnya dibidang sumber daya manusia sangat
pesat. Sangat banyak tantangan yang dihadapi perusahaan, yang harus dipecahkan
jika kita berbicara tentang sumber daya manusia.
Demikian makalah inis saya susun, semoga
dapat membantu para pembaca, terutama bagi saya peribadi, sebagai salah satu
syarat pembentuk nilai tugas dalam mata kuliah Employe Right.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar