Senin, 02 Mei 2016

Tugas "Employe Rights" Meningkatkan Keterlibatan Karyawan (Job Involvement)

KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera,
Human Resource adalah salah satu bidang dalam perusahaan yang menangani tentang sumber daya manusia. Yang dulunya hanya melakukan fungsi personalia berupa penggajian, namun modern ini berubah menjadi menyeluruh dan memperhatikan seluruh aspek tentang sumber daya manusia dalam perusahaan. Demikian juga tentang keterlibatan karyawan dalam perusahaan. Seberapa besar dan seberapa sering karyawan mengikut sertakan diri dalam perusahaan, akan mengukur apakah karyawan tersebut termotivasi dengan pekerjaan yang dia lakukan atau tidak.
Dalam mata kuliah Managing Discipline And Respecting Employee Rights yang saya tempuh di semester 7 ini, saya ditugaskan untuk membahas dan menjabarkan lebih dalam lagi tentang topic ini, yakni meningkatkan keterlibatan karyawan dalam perusahaan. Saya menyusun makalah ini berdasar dari materi yang diberikan di kelas oleh dosen mata kuliah, bapak Fransiskus Paulus Paskalis Abi, MM, dan menggunakan beberapa literature yang ada, baik dari buku cetak maupun dari internet.
Makalah ini saya buat, sebagai suatu syarat untuk membentuk nilai tugas mandiri yang memiliki bobot 20%. Kurang lebihnya saya memohon maaf, semoga apa yang saya tulis, dapat membantu semua pembaca, teristimewa dapat dinilai dengan baik oleh dosen mata kuliah.

Jakarta,  03 November 2015
Salam Damai

Bryan Christian
Penulis


Daftar Isi
KATA PENGANTAR
Daftar Isi
v  BAB 1 : Pendahuluan
v  BAB 2 : Pengertian Keterlibatan Karyawan
A.    PENGERTIAN Keterlibatan Kerja
B.     Teori Keterlibatan Kerja
C.     Karakteristik Keterlibatan Kerja
D.    Dimensi Keterlibatan Kerja
v  BAB 3 : Faktor Faktor Yang Memepengaruhi Keterlibatan Karyawan
A.    Variabel Personal
B.     Variabel Situasional
v  BAB 4 : Faktor Faktor Yang Menghambat Keterlibatan Karyawan Dan Upaya Penanggulangannya
A.    Faktor Penghambat Keterlibatan Karyawan
B.     Upaya Penanggulangan
v  BAB 5 : Pengimplementasian Keterlibatan Karyawan Dalam
v  BAB 6 : Kesimpulan






BAB 1
PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui, transformasi peranan karyawan dalam perusahaan kini telah mengubah fungsi Human Resource Manajemen secara keseluruhan. Karyawan yang dulunya hanya dipandang sebelah mata, kini menjelmna menjadi factor kunci penentu keberhasilan senuah perusahaan. 

Kinerja seringkali juga di samakan dengan prestasi kerja, Mangkunegara (2000) Menyatakan pentingknya kinerja dalam suatu perusahaan, karena kinerja adalah hasil kerja baik secara kuantitas dan kualitas yang mampu dicapai oleh seorang karyawan. Sedangkan Gibson dan Ivancevich (1997) menyatakan bahwa kinerja adalah sesuatu yang merujuk pada keberhasailan seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau mencapai target yang ditetapkan.

Sejauh mana kesuksesan karyawan dalam mencapai tujuan tersebut pada tugas-tugas yang dilakukannya disebut dengan kinerja kerja (Suhartini, 1992, dalam Nugroho, 2006). Ukuran kesuksesan yang dicapai oleh karyawan tersebut tidak bisa digeneralisasikan dengan karyawan yang lain karena harus disesuaikan dengan ukuran yang berlaku dan jenis pekerjaan yang dilakukannya (Steele-Johnson et al., 2000, dalam Nugroho, 2006). Menurut Bernardin dan Russel (1998) dalam Nugroho (2006), job performance adalah catatan mengenai akibat-akibat yang dihasilkan pada sebuah fungsi kerja atau kegiatan tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu.

Job performance seorang individu merupakan gabungan dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat diukur dari akibat yang dihasilkan, oleh karena itu job performance bukan menyangkut karakteristik pribadi yang ditunjukkan oleh seseorang melainkan hasil kerja yang telah dan akan dilakukan oleh seseorang. Seymour (1991) dalam Yekti (2006) mendefinisikan job performance sebagai pelaksanaan tugas yang diukur. Sedangkan Byars dan Rue (1988), dalam Yekti (2006) mendefinisikan job performance merupakan derajat penyelesaian tugas yang menyertai pekerjaan seseorang. Job performance merefleksikan seberapa baik individu memenuhi permintaan pekerjaan. Job performance (kinerja) diartikan sebagai tingkatan dari pekerjaan actual yang dilaksanakan oleh para individual (Shore et al., 1990, dalam Yekti, 2006). Dengan demikian, kinerja dapat diartikan sebagai catatan keberhasilan dari suatu pekerjaan / tugas yang telah dicapai seseorang melalui pengevaluasian / menilai kerja karyawan yang dilakukan organisasi dalam kurun waktu tertentu.

Karyawan yang memiliki kinerja yang baik, dapat meningkatkan produktifitas karyawan, karena kinerja dan produktifitas berbanding lurus satu sama lain. Karenanya, perusahaan masa kini berlomba lomba meningkatkan kinerja karyawannya.

Salah satu yang diperhatikan dalam hal meningkatan kinerja dari karyawan adalah bagaimana karyawan tersebut mau member diri untuk terlibat dalam setipa kegiatan yang ada dalam perusahaan. Keterlibatan karyawan atau biasa juga disebut Job involvement disimpulkan oleh Saleh dan Hosek (1976) dalam Yekti (2006) sebagai tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaan, berpartisipasi aktif dalam bekerja dan menganggap performansi kerjanya penting bagi harga dirinya.

Seseorang yang terlibat dengan pekerjaan akan menganggap pekerjaan memiliki peran penting dalam hidupnya, merasakan bahwa kebutuhan kemandirian dan kontrol terhadap pekerjaan terpenuhi serta merasa harga dirinya meningkat seiring dengan peningkatan kinerja (Kanungo, 1979, dalam Yekti, 2006). Pentingnya peran pekerjaan bagi kehidupan karyawan berhubungan dengan keyakinannya bahwa pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan intrinsik maupun ekstrinsik, misalnya kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan akan gaji yang besar. Apabila karyawan yakin bahwa pekerjaan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka akan ada usaha untuk memenuhinya dengan mengerahkan segenap tenaga dalam bekerja.

Brown, 1996, dalam Yekti, 2006, menyatakan bahwa karyawan yang terlibat dengan pekerjaan akan mengerahkan usaha yang lebih besar dalam bekerja. Brown dan Leigh, 1996, dalam Yekti, 2006, berdasarkan penelitiannya menemukan bahwa job involvement akan mengarahkan pada kinerja yang baik apabila diantarai oleh usaha effort). Job involvement merupakan bagian dari sikap kerja (Allport, 1993 dalam Yekti, 2006), di mana job involvement akan meningkatkan produktivitas.

 Menurut Brown, 1993, dalam Yekti, 2006, keterlibatan kerja mempunyai konsekuensi beberapa hasil kerja. Oleh karena itu, denga semakin terlibat dalam pekerjaannya karyawan diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Secara umum, ada kepercayaan bahwa job involvement secara positif mempengaruhi motivasi dan usaha pegawai, sehingga mengarah ke level kinerja kerja yang lebih tinggi (Brown, 1996, dalam Chungtai, 2008).

Penelitian sebelumnya mengindikasikan beberapa dukungan untuk pernyataan ini. Misalnya, Brown dan Leigh (1996) dalam Chughtai (2008) dalam studi mereka menemukan bahwa job involvement mempunyai efek langsung dan tidak langsung dari usaha pada kinerja.

Dengan kata lain, jika karyawan memiliki keterlibatan yang baik, maka kinerja pasti akan berbanding lurus, atau ikut membaik. Karenanya, selaras dengan apa yang diajarkan kepada kami dalam kegiatan perkuliahan pada mata kuliah Employe Rights, keterlibatan karyawan dibahas sebagai salah satu komponen penting yang harus dikuasai oleh seorang manajer HRD karena didalamnya terdapat hak hak dari karyawan yang harus diperhatikan.

Setiap orang dalam perusahaan pasti berbeda, perbedaan inilah yang membuat cara untuk menarik keterlibatan dari karyawan ini menjadi kompleks. Ada karyawan yang baru bisa bekerja dengan baik jika diperintah dengan tegas, ada juga yang baru bisa menjalankan tugasnya dengan baik jiuka diberi kebebasan. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan juga berpengaruh penting dalam usaha perusahaan meningkatkan partsisipasi karyawan dalam menjalankan tugasnya.

Karenanya dalam makalah ini, saya akan menjabarkan tema ini lebih jelas, tentang apa yang menjadi pengertian partisipasi karyawan dalam perusahaan, dan apa saja yang mempengaruhinya.

BAB 2
PENGERTIAN KETERLIBATAN KARYAWAN

A.    Pengertian Keterlibatan Kerja

Sumber daya manusia sangat penting peranannya dalam suatu perusahaan maka kita perlu tahu keterlibatan kerja karyawannya atau job involvement. Belum ada kesepakatan yang lengkap mengenai apa yang diartikan dengan istilah keterlibatan kerja ini.
Keterlibatan kerja mempunyai definisi yaitu derajat dimana orang dikenal dari pekerjaannya, berpartisipasi aktif didalamnya, dan menganggap
 prestasinya penting untuk harga diri (Robbins, 2003:91).

Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu, misalnya karyawan menyumbangkan ide untuk kemajuan pekerjaan, dengan senang hati memenuhi peraturan - peraturan perusahaan dan mendukung kebijakan perusahaan, dan lain - lain. Sebaliknya karyawan yang kurang senang terlibat dengan pekerjaannya adalah karyawan yang kurang memihak kepada perusahaan dan karyawan yang demikian cenderung hanya bekerja secara rutinitas.

B.     Teori Keterlibatan Kerja

Dalam suatu perusahaan ataupun suatu organisasi keterlibatan kerja karyawan sangat berperan besar. Ada beberapa teori dari berbagai sumber yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterlibatan kerja The degree to which a person a identifies psychologically with his or here work and the importance of work to one’s self image (Brown, 1996). Yaitu dimana seorang karyawan dikatakan terlibat dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi Beberapa studi yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana keterlibatan kerja dapat timbul pada para pekerja, yang akhirnya menghasilkan dua sudut pandang yang dianggap menyebabkan timbulnya keterlibatan kerja yang pertama adalah ( The first : job involvement is occur when the possession of certain needs, value, or personal characteristics individuals to become more or less involved in their jobs) keterlibatan kerja akan terbentuk karena keinginan dari pekerja akan kebutuhan tertentu, nilai atau karakteristik tertentu yang diperoleh dari pekerjaannya sehingga akan membuat pekerja tersebut lebih terlibat atau malah tidak terlibat pada pekerjaannya.

Yang kedua adalah ( The second: job involvement as a response to specific works situation characteristics. In other words certain types of job or characteristics of the work situation influence the degree to which an individual becomed involved in his jobs ) keterlibatan kerja itu timbul sebagai respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu dalam lingkungan kerja. Dengan lain kata suatu jenis pekerjaan atau situasi dalam lingkungan kerja akan mempengaruhi orang tersebut makin terlibat atau tidak dalam pekerjaannya.

Karyawan dalam keterlibatan yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu (Robbins, 2003:91). Teori yang mendasari adalah bahwa dengan mengetahui keterlibatan kerja karyawannya dengan demikian maka para karyawan akan menjadi lebih
termotivasi, lebih berkomitmen terhadap organisasi ataupun perusahaan, lebih produktif, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka.

Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang.
Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya.
Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.
Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009: 306).
Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu organisasi.
Patchen (dalam Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya.
Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan Organizational Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.

C.    Karakteristik Job Involvement
Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:
1.      Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi:
v  Menghabiskan waktu untuk bekerja
v  Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
v  Puas dengan pekerjaannya
v  Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
v  Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
v  Tingkat absen dan intensi turnover rendah
v  Memiliki motivasi yang tinggi

2.      Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah:
v  Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
v  Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
v  Tidak puas dengan pekerjaan
v  Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
v  Tingkat absen dan intensi turnover tinggi
v  Memiliki motivasi kerja yang rendah
v  Tingkat pengunduran diri yang tinggi
v  Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
D.    Dimensi Job Involvement
Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu:
1.      Performance self-esteem contingency
Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002).
2.      Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. (Dubin (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya.
Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009:303).






BAB 3
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLIBATAN KARYAWAN
Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional.
A.    Variabel personal
Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas.
Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan  full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement).
Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.
Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja.
B.     Variabel situasional
 Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.
Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi.
Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karier, dan komitmen organisasi.
Hao, Jung, dan Yenhui (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penting dari keterlibatan kerja (Job Involvement) personil layanan finansial menemukan bahwa dukungan sosial dan hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan keterlibatan kerja pada sipir penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan sosial yang diukur (appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan positif dengan keterlibatan kerja. Variabel lingkungan sosial budaya mencakup ukuran komunitas, rural/urban, budaya etnis, dan agama.
Kaur dan Chadha (dalam Srivastava, 2005) menemukan bahwa bagi pekerja white-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang rendah, sedangkan bagi pekerja blue-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang tinggi.
Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja (Job Involvement). Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka.
Komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry (1981) menunjukkan bahwa prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi.
2.      Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.
3.      Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individuindividu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi.
4.      Akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.
Menurut Mowday, Porter dan Steers, (1982) beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, diantaranya adalah :
1.      Usia dan masa kerja . Usia dan masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen. Gilmer, Attiselli dan Brown (dalam Prabowo, 1997) dalam penelitiannya juga menambahkan bahwa usia akan berpengaruh pada komitmen organisasi dimana komitmen bertambah seiring bertambahnya usia.
2.      Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya semakin rendah.
3.      Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
4.      Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen terhadap organisasi. Peran yang tidak jelas muncul akibat adanya tujuan yang tidak jelas pula atas suatu pekerjaan.
Ciri-cirinya antara lain ketidakjelasan evaluasi terhadap pekerjaan, cara untuk mencapai unjuk kerja yang baik dan batas wewenang serta tanggung jawab individu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya ketidakjelasan peran, yakni :
1.      faktor organisasi, keberadaan individu tidak jelas fungsinya sehingga peranannyapun tidak jelas ;
2.      faktor pemberi peran – ketidakjelasan muncul karena atasan tidak mengkomunikasikan dengan jelas harapannya terhadap bawahan ;
3.      faktor penerima peran – ketidakjelasan peran karena bawahan tidak mengerti peran yang harus ia lakukan sesuai harapan atasan (dalam Temaluru, 2001).
Faktor Lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi. Menurut Porter, Mowday dan Steers (1982), lingkungan dan pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Beberapa faktor lingkungan yang berkaitan dengan komitmen adalah :
1.      keterandalan organisasi, yakni sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia bekerja memperhatikan anggotannya, baik dalam hal minat maupun kesejahteraan;
2.      perasaan dianggap penting oleh organisasi- yakni sejauh mana individu merasa diperlukan dalam mencapai misi organisasi. Menurut Robert Lavering (1988), tempat kerja yang baik adalah tempat yang membuat karyawan dihargai keberadaannya dan merasa bangga menjadi anggota organisasi tersebut. Ketidakberartian akan membuat komitmen organisasi menjadi rendah;
3.      realisasi terhadap harapan individu- yakni sejauh mana harapan individu dapat direalisasikan melalui organisasi dimana ia bekerja.
4.      persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja-sejauh mana individu merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang positif terhadap organisasi.
5.      persepsi terhadap gaji sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya seimbang dengan gaji individu lain. Perasaan diperlakukan fair atau tidak akan mempengaruhi komitmennya.
6.      persepsi terhadap perilaku atasan-sejauh mana individu merasa dihargai dan dipercayai oleh atasan. Jika persepsi sikap atasan negatif, maka akan cenderung mengakibatkan sikap negatif pula yang diaktualkan dalam bentuk perilaku negatif seperti mangkir dan keinginan berpindah kerja (dalam Temaluru, 2001).








BAB 4
FAKTOR FAKTOR YANG MENGHAMBAT KETERLIBATAN KARYAWAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
A.    Faktor penghambat dalam melibatkan karyawan
Ada beberapa faktor yang menghambat keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam suatu organisasi. Diantaranya adalah Menurut fandy tjiptono(2003:131), ada  2 penolakan terhadap perubahan yang perlu diperhatikan yaitu penolakan dari manajemen dan dari karyawan.
Penolakan manajemen terhadap penerapan PPK (Pelibatan dan pemberdayaan karyawan) antara lain karena alasan ketidakamanan, nilai-nilai pribadi, ego, pelatihan manajemen, karakteristik kepribadian, ketidakterlibatan para manajer, serta struktur organisasi, dan praktik manajemen.
1.      Ketidakamanan,
Hal ini akan dirasakan oleh para manajer ketika karyawan yang berada dalam tim kerja mencetuskan inisiatif atau ide yang dapat mengurangi kekuasaan manajer tersebut. Sehingga manajer akan berusaha mempersulit kelompok kerja.

2.      Nilai-nilai pribadi, 
yaitu anggapan manajer bahwa karyawan harus melaksanakan perintah yang diberikan oleh manajer,

3.      Ego, 
manajer yang memiliki ego tinggi tidak akan menerima adanya keterlibatan karyawan, karena akan merasa berkurang status dan keuntungannya.

4.      Pelatihan manajemen, 
akan mempengaruhi cara pandang manajer karena biasanya pelatihan manajemen mengikuti filosofi yang dicetuskan oleh Frederick Taylor yang lebih focus kepada penerapan prinsip-prinsip ilmiah dalam perbaikan proses dan teknologi, yang tidak berorientasi pada manusia. Sehingga kemungkinan besar, para manajer tersebut akan menolak PPK.

5.      Karakteristik kepribadian para manajer
Yang dididik dengan cara lama tidak akan menerima PPK karena mereka lebih memperhatikan tugas dan hasil kerja daripada memperhatikan orang yang bekerja tersebut.

6.      Ketidakterlibatan manajer akan menolak PPK,
karena manajer tersebut merasa diabaikan. Penerapan PPK harus melibatkan semua personil yang akan dipengaruhi oleh keputusan atau ide yang ditemukan

7.      Struktur Organisasi dan praktek manajemen,
ketika organisasi memiliki birokrasi yang berbelit-belit. Penolakan dari karyawan bisa terjadi ketika mereka merasa skeptis terhadap manajemen yang silih berganti dan tidak dilaksanakan. Penolakan bisa juga terjadi karena karyawan tidak mau menerima perubahan karena menyangkut hal hal baru dan mungkin tidak lazim, sehingga sulit mendapatkan dukungan dari karyawan.

Jadi ketika tim dibentuk, akan berhasil bila sasaran atau tujuan kerja kelompok jelas dan disetujui oleh seluruh anggota kelompok. Hal ini didukung dengan adanya keterbukaan antar anggota kelompok dan antara anggota kelompok selalu ada pertemuan untuk membahas berbagai masalah kelompok atau masalah – masalah perusahaan.Kerjasama antar anggota  kelompok sangat deperlukan, terutama dukungan dan rasa saling percaya antara seluruh anggota kelompok.

B.     Usaha Penanggulangan

Penerapan PPK (Pelibatan dan pemberdayaan karyawan) dalam lembaga/organisasi
Pimpinan yang berhasil bukanlah yang mencari kekuasaan untuk dirinya sendiri akan tetapi yang mampu mendistribusikan kekuasaan kepada orang banyak untuk mencapai tujuan bersama dengan melalui kejelasan wewenang, tanggung jawab, serta diimbangi sikap disiplin.
Pelibatan dan pemberdayaan karyawan akan berarti hanya apabila hal tersebut merupakan suatu usaha sistemik yang dilakukan untuk membantu organisasi guna meningkatkan nilai yang akan diberikan kepada pelanggan(Fandy Tjiptono, 2003:135).

Peranan utama manajemen sendiri adalah melakukan segala usaha yang diperlukan guna menjamin kesuksesan konsep PPK tersebut secara berkesinambungan, sedangkan peranan manajer antara lain:

1.  Menunjukkan sikap yang mendukung
2.  Menjadi fasilitator
3.  Menjadi pelatih
4.  Mempraktekkan Management By Walking Around
5.  Mengambil tindakan dengan segera atas atas rekomendasi
6.  Menghargai prestasi karyawan

Menurut Raja Bambang Sutikno (2005:107), ada tiga pilar interaksi antara manager dengan karyawan yang menjadi tulang punggung dalam komunikasi.

1.      Menghormati harga diri karyawan dan menjaga rasa percaya dirinya.
2.      Mendengar dan merespons dengan empati terhadap bahasa verbal dan bahasa nonverbal.
3.      Membangun sinergi dalam penyelesaian masalah.








BAB 5
PENGIMPLEMENTASIAN KETERLIBATAN KARYAWAN
Terdapat berbagai sarana yang dapat digunakan untuk mendorong karyawan agar mereka memberikan masukan dan menyalurkannya kepada pengambil keputusan. Berikut adalah metode yang sering digunakan:

A.  Brainstorming

Disini manajer mempunyai peran sebagai katalisator untuk mendukung diskusi antar peserta. Peserta didorong untuk mengungkapkan seluruh idenya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk menghakimi ide dari peserta lain. Setelah saran dari peserta terkumpul, maka akan diolah dan dipilih beberapa saran terbaik.

Usaha pemberdayaan karyawan dimulai dengan hal-hal berikut
1.      Adanya keinginan manajer dan supervisor untuk memberi tanggung jawab pada karyawan.
2.      Melatih supervisor dan karyawan mengenai cara untuk melakukan delegasi dan menerima tanggung jawab.
3.      Komunikasi dan umpan balik perlu diberikan manajer dan supervisor kepada karyawan.
4.      Penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi yang perlu diberikan.

B.     Nominal group technique

Nominal group technique merupakan salah satu bentuk dari brainstorming, tehnik ini terdiri dari 5 langkah, yaitu:
1.      Merumuskan permasalahan
2.      Mencatat ide masing-masing
3.      Mencatat ide kelompok.
4.      Memperjelas ide-ide
5.      Masing-masing anggota kelompok memilih ide yang dianggapnya sesuai.

C.    Gugus kualitas
Perbedaan utama gugus kualitas dan brainstorming adalah anggota gugus kualitas adalah sekelompok karyawan yang secara sukarela melaksanakan pertemuan sendiri, sedangkan brainstorming pada umumnya adalah bentukan manajer.

D.    Kotak saran
Cara ini dilakukan dengan cara menyediakan kotak sebagai tempat karyawan menyampaikan saran tertulis.

E.     Management by walking around
Jalan-jalan di tempat kerja dan berbicara dengan karyawan untuk mengumpulkan masukan. Cara ini dinilai efektif karena dapat dengan langsung melihat sendiri di lapangan sejauh apa karyawan memahami apa yang mereka kerjakan sehingga manajer dapat mengetahui kendala yang ada.

F.     Penghargaan dan pengakuan prestasi

Dalam TQM, penghargaan dan pengakuan prestasi merupakan motivasi untuk mencapai sasaran perusahaan. Penghargaan dan pengakuan prestasi tidak akan menghasilkan yang disebut total quality secara langsung, akan tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada, maka yang terjadi adalah hilangnya keyakinan karyawan terhadapa niali riil kualitas dan kontribusi mereka untuk memperbaiki kualitas.

Salah satu metode yang disebutkan diatas adalah gugus kualitas, atau bisa disebut dengan gugus kendali mutu. Menurut Olga L. Crocker, di Jepang gugus kendali untuk mempelajari dan menghilangkan persoalan yang berkaitan dengan tujuan dan persoalan yang berkaitan dengan produksi. Gugus kendali mutu adalah tim pemecah persoalan yang menggunakan metode statistic yang sederhana untuk mencari dan memutuskan pemecahan atas persoalan di pabrik.

Ada pengertian lain dari gugus kendali mutu yaitu sekelompok karyawan yang terdiri dari empat sampai dengan duabelas karyawan yang berasal dari tempat atau bidang yang sama dalam perusahaan secara sukarela berkumpul untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dan menerapkannya dalam kegiatan operasional perusahaan.

Kelompok kerja yang dikelola sendiri oleh para karyawan dalam suatu tim yang biasanya didasari oleh kebutuhan pihak karyawan untuk berkumpul dan membahas berbagai masalah, biasanya dibentuk secara informal. Merupakan tim yang terbentuk untuk mengadakan perbaikan proses secara terus menerus dan berkesinambungan.

Dengan kerjasama TIM diharapkan dapat mempermudah dalam menjalankan dan mencapai visi, misi, tujuan dan program program yan telah dibuat oleh organisasi.

Menurut King ( dalam Goetscs dan davis 1994: 218-219) menganjurkan 10 startegi yang ia sebut sepuluh perintah TIM ( Ten Team Commandment) untuk meningkatkan kerjasama TIM dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sepuluh strategi tersebut adalah:

1.      Saling ketergantungan,
Saling ketergantungan diperlukan diantara para aggota tim dalam hal
informasi, sumber daya, pelaksanaan tugas, dan dukungan. Adannya ketergantungan dapat memperkuat kebersamaan TIM.

2.      Perluasan Tugas,
Setiap tim harus diberi tantangan atau tanggapan terhadap tantangan tersebut akan membentuk semangat persatuan, kebangaan dan kesatuan tim.

3.      Penjajaran (alignmen)
Anggota tim harus bersedia menyingkirkan sikap indivualisme dalam rangka mencapai misi bersama.

4.      Bahasa yang umum
Pemimpntim harus menggunaka penggunaan bahasa yang umum sehingga
bisa difahami oleh anggota tim yang lain.

5.      Kepercayaaan
Dibutuhkan sikap saling percaya dan respek antar anggota TIM agar dapat bekerjasama.

6.      Kepemimpinan
Pemimpin tim harus memperhatikan bakat tertentu anggota tim sebab anggota tim memiliki bakat masing masing.

7.      Keterampilan memecahkan masalah
Tim harus banyak menggunakan waktunya untuk membina kemampuan anggotannya dalam memecahkan masalah, karena masalah merupakan hal yang selalu dihadapi oleh organisasi atau lembaga.

8.      Keterampilan menangani konfrontasi atau konflik
Dalam lingkungan kerja yang memiliki tekanan tinggi dan kompetetif konflik merupakan hal yang tidak terelakan. Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar . Oleh karena itu, dalam TQM diperlukan keterampilan menerima perbedaan pendapat dan menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain tanpa harus menyakiti orang yang bersangkutan.

9.      Penilaian atau tindakan
Penilaian dilakukan dengan memantau dan membandingkan apa yang telah dilakukan dengan pernyataan visi dan rencana tindakan yang ada. Rencana tindakan berisi tujuan, sasaran, jangka waktu, penuagasan serta tanggung jawab setiap anggota. Penghargaan dan pengakuan atas tugas yang terlaksana dengan baik akan memativasi anggota tim untuk bekerja lebih giat dan tangkas dalam rangka mencapai tujuan berikut.


BAB 6
KESIMPULAN
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan salah satu  unsur TQM. Jika karyawan dilibatkan dalam berbagai kegiatan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan maka mutu atau kualitas lembaga dapat terjamin karena karyawan merupakan orang yang melaksanakan tugas operasional yang lebih mengenal keadaan sebenarnya dilapangan.

Salah satu bentuk PPK adalah dengan membuat suatu tim kerja yang biasa disebut dengan gugus kendali mutu. Tim ini terbentuk dari empat sampai dengan duabelas karyawan yang berasal dari tempat atau bidang yang sama dalam perusahaan secara sukarela berkumpul untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dan menerapkannya dalam kegiatan operasional perusahaan.

Keterlibatan karyawan dalam perusahaan adalah inti dari kinerja itu sendiri, karena mustahil jika perusahaan ingin meningkatkan kinerja namun karyawannya tidak mau berpartisipasi. Dari apa yang menjadi pembahasan yang saya jabarkan dia atas, dapat kita lihat, bahwa transformasi dari dunia usaha khususnya dibidang sumber daya manusia sangat pesat. Sangat banyak tantangan yang dihadapi perusahaan, yang harus dipecahkan jika kita berbicara tentang sumber daya manusia.


Demikian makalah inis saya susun, semoga dapat membantu para pembaca, terutama bagi saya peribadi, sebagai salah satu syarat pembentuk nilai tugas dalam mata kuliah Employe Right.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar